Selasa, 31 Mei 2011

URGENSI MENUNTUT ILMU


Menuntut Ilmu..
Oleh: Hartono Ahmad Jaiz
"Tholabul 'ilmi fariidhotun 'alaa kulli muslim."
"Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang Muslim." (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah, hadits hasan).
 

AlDakwah.com- Dalam Islam, menuntut ilmu itu merupakan fardhu (kewajiban) bagi setiap muslim. Dalam hadits disebutkan:

"Tholabul 'ilmi fariidhotun 'alaa kulli muslim."
"Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang Muslim." (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah, hadits hasan).
Ibnul Jauzi mengatakan, "Orang-orang saling berbeda pendapat tentang ilmu yang diwajibkan ini."
  1. Para fuqoha (ahli fiqih) mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu fiqih. Karena dengan ilmu ini bisa diketahui mana yang halal dan mana yang haram.

  2. Para mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits) mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah Kitab dan Sunnah. Karena dengan keduanya seseorang bisa mencapai semua cabang ilmu.

  3. Orang sufi mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu ikhlas dan ujian-ujian jiwa.

  4. Para mutakallimin (teolog) berkata, bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu kalam.
    Begitu seterusnya. Masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan yang sama sekali tidak memuaskan. Yang benar adalah: Ilmu mu'amalah hamba terhadap Rabbnya. Mu'amalah yang dibebankan di sini meliputi tiga macam: 1 Keyakinan, 2 Perbuatan, 3 Apa yang harus ditinggalkan.

Ibnu Qudamah menjelaskan:
  1. Jika seorang anak sudah beranjak besar, maka pertama-tama yang harus dia pelajari adalah dua kalimah syahadat dan memahami maknanya, sekalipun pemahaman ini tidak harus dengan penela'ahan dan penyertaan dalil. Sebab Nabi saw hanya meminta pembenaran dari orang-orang Arab yang bodoh, tanpa menuntut mereka untuk mempelajari dalil.Tapi yang pasti hal ini hanya dikaitkan dengan waktu alias temporal. Setelah itu dia tetap dituntut untuk menela'ah dan mengetahui dalil.

  2. Jika sudah tiba waktunya untuk mendirikan shalat, maka dia harus mempelajari cara bersuci dan shalat.Jika tiba bulan Ramadhan, dia harus mempelajari puasa.Jika dia mempunyai harta benda dan waktunya sudah mencapai satu tahun, maka dia harus mempelajari zakat. Jika tiba musim haji dan memungkinkan baginya untuk pergi haji, maka dia harus mempelajari manasik haji dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji.

  3. Tentang hal-hal yang harus ditinggalkan, maka tergantung kondisinya. Sebab tidak mungkin orang yang buta bisa mempelajari apa yang tidak dia lihat, dan orang bisu tidak mungkin bisa mengucapkan apa yang memang tidak bisa ia ucapkan. Jika di suatu negara ada kebiasaan minum khamr dan mengenakan pakaian sutera (atau sekarang pakaian wanita super ketat, mini, pamer aurat,pen) maka dia wajib mengetahui pengharaman dua hal itu.

  4. Tentang keyakinan, maka harus diketahui dan dipelajari berdasarkan sentuhan rasa. Jika terbetik suatu perasaan yang meragukan makna-makna yang ditunjukkan dua kalimat syahadat, maka dia harus mengetahui apa yang membuatnya bisa mengusir keragu-raguan itu. Jika dia berada di suatu negeri yang banyak bid'ahnya, maka dia harus mencari mana yang haq, sebagaimana seorang pedagang yang di sekitarnya memasyarakat praktek riba, maka dia harus mempelajari bagaimana cara mewaspadai riba itu.


  5. Anak itu juga harus mempelajari iman kepada hari berbangkit (qiyamat), surga dan neraka.
Dari penjelasan itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dicari adalah ilmu yang termasuk dalam fardhu 'ain, atau apa yang memang berkait dengan diri seseorang (yaitu tentang keyakinan, perbuatan -yang diperintahkan Allah, dan keharaman yang harus ditinggalkan, pen).
Sedangkan yang termasuk fardhu kifayah adalah setiap ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup di dunia, seperti: Ilmu kedokteran. Sebab ilmu ini sangat penting dan diperlukan untuk menjaga kesehatan badan. Begitu pula ilmu hitung yang sangat dibutuhkan untuk membagi harta warisan, wasiat, hitungan jual beli dan lain-lain.
Jika penduduk suatu negeri tidak ada yang mempelajari dan menguasai ilmu semacam ini, maka mereka semua adalah orang-orang yang berdosa. Tapi jika sudah ada seseorang atau dua orang yang menguasainya, maka kewajiban menjadi gugur bagi yang lain.
Adakalanya sebagian ilmu itu hukumnya mubah, seperti: ilmu syair yang tidak melemahkan pikiran, ilmu sejarah dan lain-lain. Adakalanya ilmu itu tercela, seperti: ilmu sihir/ santet, sulap, dan ilmu untuk memalsu.
Adapun Ilmu syari'ah semuanya terpuji, yang bisa dibagi dalam 4 macam:
  1. Ilmu ushul (dasar), yaitu Kitab Allah, Sunnah rasul-Nya, ijma' ummat, dan perkataan para sahabat.
  2. Ilmu furu' (cabang), yaitu apa yang difahami dari dasar-dasar tersebut, berupa berbagai pengertian yang memberikan sinyal kepada akal, hingga dapat memahami apa yang seharusnya dipahami. Seperti pengertian yang diambil dari sabda Rasulullah saw, "Hakim tidak boleh membuat keputusan selagi dia sedang marah," yang berarti dia juga tidak boleh membuat keputusan hukum selagi sedang lapar.
  3. Ilmu muqaddimat (pengantar), yaitu ilmu yang berfungsi sebagai alat, seperti ilmu nahwu dalam ilmu bahasa, yang menjadi alat untuk memahami kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
  4. Ilmu mutammimat (pelengkap), seperti ilmu membaca, makhraj huruf, ilmu tentang nama-nama rijal hadits, mengenai keadilan dan keadaan mereka.
    Semua ini disebut ilmu syar'iyah dan semuanya terpuji.
Bahaya Jahil Ilmu Agama
Menuntut ilmu agama, khususnya ilmu tentang apa-apa yang jadi kewajiban sebagai hamba Allah adalah fardhu 'ain. Setiap orang harus mengetahui kewajiban-kewajibannya, maka menuntut ilmu tentang itu hukumnya adalah fardhu 'ain. Sebab, tanpa mengetahui ilmunya, maka tidak akan bisa melaksanakan kewajibannya dengan benar.
Fudhail bin 'Iyadh berkata: "Sesungguhnya amal yang dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar itu tidak akan diterima, begitu juga jika amal itu benar namun tidak ikhlas (juga tidak diterima). Ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah, dan benar hendaklah tegak berdasarkan sunnah.
Amal yang tidak sesuai dengan sunnah, baik itu karena penyelewengan maupun karena kebodohan, maka tidak diterima. Sebab Nabi saw bersabda:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak." (HR Muslim).
Orang yang beramal tanpa ilmu dan orang yang berilmu tetapi menyeleweng adalah dua golongan yang sangat merepotkan. Sulit diaturnya, dan menjadikan lelahnya orang yang mau meluruskannya. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib berkata:

Patahlah punggungku gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang menyeleweng dan orang bodoh yang rajin ibadah.
Pernyataan yang hampir sama dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah:

"Kebodohan dan kedhaliman adalah pangkal dari segala keburukan."
Kebodohan itu saja sudah merupakan pangkal keburukan, apalagi justru kebanyakan manusia itu bodoh dalam hal agama. Maka benarlah firman Allah SWT yang mengecam manusia:
Janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janjiNya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti, mereka (hanya) mengetahui secara lahir (saja) dari kehidupan dunia, mereka lalai terhadap akherat." (QS Ar-Ruum: 6-7).
Imam Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat yang ketujuh Surat Ar-Ruum ini mengatakan: "Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini mereka cerdik cendekia (istilahnya piawai), tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfa'at bagi mereka di akherat. Mereka dalam hal agama dan akherat ini bagai orang dungu yang tak punya nalar dan akal pikiran."
Jahilnya seseorang terhadap ilmu agama bisa menjerumuskan ke bid'ah bahkan kemusyrikan. Dalam hadits dijelaskan, ketika Adi bin Hatim menghadap Rasulullah saw, di lehernya tergantung salib dari perak, lalu Nabi saw membacakan ayat:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah." (QS At-Taubah: 31).
Maka jawab Adi bin Hatim: "Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!"
Sabda Nabi saw: "Benar, tetapi sesungguhnya mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikuti, itulah ibadah kepada mereka." (HR Al-Tirmidzi).
Dalam kisah itu, karena kebodohannya tentang agama, maka terjerumus kepada hal yang menyekutukan Allah.
Oleh karena itu, menuntut ilmu agama itu adalah meniti jalan ke surga, sebab menghindari dari jalan yang menuju kesesatan, baik itu bid'ah, khurofat, takhayyul, maupun sampai pada kemusyrikan/ menyekutukan Allah. Dan hal itu ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw:

"Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga." (HR Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Lebih jelas lagi bahwa mengetahui atau memahami ilmu agama itu sangat penting untuk terhindar dari kesesatan, bid'ah, khurofat, takhayyul dan syirik adalah sabda Nabi saw:

"Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah fahamkan dia dalam ilmu agama." (HR Al-Bukhari).
Kebaikan di situ berarti lawan dari keburukan. Sedang keburukan yang merusak agama di antaranya adalah kesesatan-kesesatan. Dan kesesatan itulah yang diberantas oleh ilmu dien, karena ilmu dien adalah warisan para nabi. Sehingga para pemilik ilmu dien, yaitu ulama adalah pewaris para nabi. Keutaman ulama itu dijelaskan oleh Nabi saw:

"Keutamaan seorang alim (berilmu agama) atas seorang 'abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak." (HR At-Tirmidzi).
Sampai-sampai Allah pun menjanjikan untuk mengangkat derajat orang iman yang berilmu dengan firman-Nya:

"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." ( Al-Mujadilah: 11).
Sebaliknya, kalau manusia sudah mengangkat orang-orang jahil/ bodoh sebagai pemimpinnya, maka yang terjadi adalah sesat menyesatkan.
Nabi Muhammad saw menjelaskan:
"Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hamba, tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut (mewafatkan) para ulama, sehingga tidak ada lagi seorang alim pun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka itu lalu dimintai fatwa, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan." (HR Al-Bukhari 1/ 34).
Hal yang buruk pula akan menimpa umat ketika menjelang kiamat dalam kaitan dengan ilmu. Nabi saw menjelaskan:

"Sesungguhnya termasuk salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang-orang rendahan/ cere-cere." (lihat kitab Silisilah Hadits Shahih no 695).
Imam Malik berkata: "Ilmu itu tidak diambil dari empat golongan, tetapi diambil dari selainnya. Tidak diambil dari:
1.     Orang yang bodoh
2.     Orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya
3.     Orang yang mengajak bid'ah dan pendusta walaupun tidak sampai tertuduh sebagai mendustakan hadits-hadits Rasulullah saw
4.     Orang yang dihormati, orang shaleh, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memahami permasalahannya.
Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Ada kisah dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dimuat dalam Kitab Riyadhus Sholihin, bab taubat, ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang rahib/ pendeta ahli ibadah sebagai korban yang ke-100 karena jawaban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya setelah membunuh si ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang alim, dan di sana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, maka diapun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya.
Betapa jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar