Selasa, 17 Mei 2011

tentang hati

JADIKANLAH HATIMU SEBAGAI RAJA

Hati, menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Syarb ‘Aja’ib Al Qalb (terj: Keajaiban-keajaiban Hati), bermakna sebagai sepotong ‘daging’ berbentuk buah pohon cemara yang terletak di bagian kiri dada, didalamnya terdapat rongga berisi darah hitam. Makna kedua, hati merupakan sebuah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut dan tidak kasat mata, tidak berupa, dan tidak dapat diraba) yang bersifat rabbani ruhani. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakikatnya. Dia adalah bagian utama manusia yang berpotensi mencerap, yang mengetahui dan mengenal, yang ditujukan kepadanya segala macam pembicaraan dan penilaian, dan yang dikecam serta yang dimintai pertanggungjawaban.

Berkaitan dengan makna kedua, hati yang merupakan lathifah sejatinya mempunyai “bala tentara”. Lho… “bala tentara”?!
Tenang… “Bala tentara” disini bukanlah ibarat pasukan Small Soldiers yang berjiwa Rambo, melainkan bala tentara yang bersifat lahiriah dan batiniah.

Bala tentara yang bersifat lahiriah, jelas Imam Al-Ghazali, terdiri dari semua anggota tubuhnya mulai dari kepala sampai kakinya. Bala tentara yang satu ini bergerak dan berderap berdasarkan ghadhab (emosi) yang berada di dalam hatinya. Sementara, bala tentara yang bersifat batiniah terdiri dari gadhab dan syahwah (ambisi) serta ilmu, tafakur, dan hikmah.

Dari kedua jenis tentara itu, Al-Ghazali memisalkan bahwa jiwa atau hati manusia ibarat seorang raja di pusat negara dan kerajaannya. Ini mengingat bahwa tubuh merupakan pusat merupakan pusat kerajaan bagi jiwa, juga dunianya dan kota tempat tinggalnya. Sedangkan anggota-anggota tubuhnya serta segala daya dan potensi dirinya adalah ibarat teknisi dan pekerja. Akal pikirannya merupakan penasihat yang tulus merangkap sebagai menteri yang pandai dan berakal. Sedangkan syahwah-nya ibarat seorang budak yang buruk perilakunya, yang tugasnya adalah mengangkut makanan dan barang-barang keperluan ke dalam kota. Sementara gadhab-nya serta naluri pembelaan dirinya yang bersemangat, ibarat petugas kepolisian. Budak yang bertugas menyediakan barang-barang tadi adalah juga seorang pendusta jahat yang berpura-pura sebagai penasihat, padahal di balik nasihatnya tersembunyi kejahatan besar, serta racun yang mematikan. Dengan watak dan tabiatnya yang buruk itu, ia senantiasa berupaya melawan si mentri yang tulus dalam pemikiran maupun peraturan-peraturan yang dibuatnya. Sedemikian rupa sehingga tak sesaat pun berlalu tanpa gangguan yang ditujukan kepadanya. Maka jika si raja senantiasa mendengarkan nasihat menterinya yang pandai dan tulus itu (yakni akal sehatnya) dalam pengelolaan negerinya, sementara ia tak sedikit pun menghiraukan apa yang diucapkan oleh si budak jahat (yakni syahwah-nya). Karena menyadari bahwa kebenaran justru terletak pada pemikiran yang berlawanan pada keinginan si budak, maka ia akan memerintahkan aparat kepolisiannya (yakni gadhab-nya) untuk menangani tingkah laku kejahatan si budak, dengan mendidiknya sebaik mungkin agar ia bersedia tunduk dan patuh pada kebijaksanaan sang menteri. Di samping itu, ia senantiasa waspada terhadap ulah si budak serta orang-orang yang menjadi pengikutnya atau kawan-kawannya sehingga mereka ini menjadi kelompok yang dikendalikan, diperintah, dan diatur. Jika seperti itu keadaannya, maka negeri itu akan menjadi makmur dan teratur dan keadilan pun akan dapat ditegakkan dengan baik.

Begitu pula jiwa manusia, sepanjang ia menggunakan bantuan akal sehat, dan mampu mengendalikan sifat gadhab (emosi)-nya, lalu memberinya kekuasaan atas syahwah (ambisi)-nya, kemudian menguasakan yang satu atas yang lain demi mencapai kestabilan. Yaitu dengan cara kadang-kadang mengurangi kadar gadhab dan gejolaknya, dengan membiarkan adanya perlawanan dari syahwah, atau dengan cara menariknya secara perlahan-lahan dan bijaksana. Atau di waktu yang lain, melakukan upaya represif terhadap syahwah-nya itu dengan memerintahkan kepada sifat gadhab agar melakukan pengekangan dan penekakanan kuat terhadapnya. Dengan demikian diharapkan akan timbul keseimbangan serta perilaku yang terpuji. Tanpa upaya-upaya seperti itu, ia akan menjadi seperti dalam firman ALLAH SWT,
“Tidakkah kaulihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, sementara ALLAH membiarkannya sesat…” (QS Al-Jatsiah [45]:23).

Sekarang pertanyaannya, beranikah kita untuk memberi perintah kepada para “tentara hati” kita ??? Kalau kita Istiqomah, kenapa tidak !!!

Semoga bermaanfaat ! Wallahualam Bissawab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar